ada sedikit rasa terlepas dari sela-sela ibu jari
ini rasa tidak tumpah pada nyata
dia mengalir sekedar melantun pada mulut bicara
tentang beribu-ribu hektar hutan belantara konon megap tanpa nafas
tergerus meratap atas nama peradaban
tuan meracau pada boneka-boneka pasir
tentang pentingnya kematian terselubung atas nama kemunafikan
juga tentang ketakutan atas pembusukan ketamakan
pewajaran keserakahan
pelumrahan keegoisan
dan telah sekian lama tersimpan di lemari makan tepat di atas kepala orang terkasih
juga tentang penindasan terlegitimasi
kepiawaian para hipokrit dengan membanggakan hukum katak.
melompat-lompat
menyambar-nyambar
juga berlendir
seketika menghilang di tepi-tepi air tawar pada sela-sela ranting patah
juga tentang generasi hilang yang tidak mengerti lagi arti sebuah arti,
makna sebuah makna
rasa sebuah rasa
individualisme menjadi begitu perkasanya
angkuh menjadi semboyan yang digembar-gemborkan media massa
juga tentang cinta yang menyempit makna
menjadi antara kau dan aku
aku juga kau
kau aku satu
tidak pada mereka
tidak pada alam
tidak pada angin yang terhirup bergalon-bergalon sejak keluar dari rahim ibu.
bahkan juga tidak padaNya.
bukankah pernah kuceritakan padamu tentang species yang punah?
yang harus malu pada fauna
yang menjadi raja setelah dinosaurus tiada
aku pernah bangga menjadi manusia
dulu, pada suatu masa...
07/06/10
Manusia di atas Manusia
manusia di atas manusia
udara apak, terkepung tembok jalang menjulang
bocah-bocah main bola
disaksikan panser serdadu marah
ketika itu...
manusia di atas manusia
bocah tak mau pulang
listrik tiarap, terkepung tembok jalang menjulang
bola ditendang baik-baik
sebab cedera, obat tiada
serdadu marah
ketika itu...
manusia di atas manusia
tiga bocah
lima meter jarak
serdadu marah
ada konfrontasi bisu di sana
tentang manusia di atas manusia
hei! lihat...
ada harapan naik kapal
bocah-bocah tertawa terbahak-bahak;
ada yang menari melompat-lompat
ada yang berlari-lari, kasut bola tinggal satu
ada yang panjat pohon, belalak mata
tapi serdadu marah
beberapa harapan ditembak seketika
bocah menari, tunduk kepala
bocah berlari, berkaca-kaca
bocah panjat pohon, jatuh ranting patah
ketika itu....
manusia di atas manusia
lalu dunia mengutuk, angin-angin memaki
udara menghardik, langit jijik
bukan pada serdadu, tapi pada bocah-bocah main bola
sebab mereka main bola...
udara apak, terkepung tembok jalang menjulang
bocah-bocah main bola
disaksikan panser serdadu marah
ketika itu...
manusia di atas manusia
bocah tak mau pulang
listrik tiarap, terkepung tembok jalang menjulang
bola ditendang baik-baik
sebab cedera, obat tiada
serdadu marah
ketika itu...
manusia di atas manusia
tiga bocah
lima meter jarak
serdadu marah
ada konfrontasi bisu di sana
tentang manusia di atas manusia
hei! lihat...
ada harapan naik kapal
bocah-bocah tertawa terbahak-bahak;
ada yang menari melompat-lompat
ada yang berlari-lari, kasut bola tinggal satu
ada yang panjat pohon, belalak mata
tapi serdadu marah
beberapa harapan ditembak seketika
bocah menari, tunduk kepala
bocah berlari, berkaca-kaca
bocah panjat pohon, jatuh ranting patah
ketika itu....
manusia di atas manusia
lalu dunia mengutuk, angin-angin memaki
udara menghardik, langit jijik
bukan pada serdadu, tapi pada bocah-bocah main bola
sebab mereka main bola...
Perspektif pada Jiwa
ada irama menari di jiwa terselubung kabut
irama bernyanyi di segenap raga
semerta tumpah dalam alunan orkestra klasik melankolis
gerak bergerak dalam kristal tipis dimana liukan-liukan tampak angkuh
irama berdansa mengundang jiwa
mari kemari tari bersama
di sisi lain...
ada jeritan tersamar di jiwa terselubung selimut
jeritan meracau-racau pada isi kepala
membatu dengan keras sekeras-kerasnya
jeritan menjahit udara dengan udara,
menyulam angin dengan angin
ini jeritan menulikan jiwa seperti manusia menulikan angin
di persimpangan...
irama dan jeritan berhadap-hadapan
mereka beradu berpandang-pandangan,
selang seling saling bersilangan
debat mendebat
bantah membantah
hardik menghardik
irama mewarna jiwa, jeritan lantas pecah karsa
ketika itu...
pepohonan masih tampak jauh
kuseret kaki menuju rindangnya
sampai, kubersandar pada batang kokoh namun tua
duduk menatap kawanan murai dan individualisme elang melalu-lalang
Oh...jiwa, jadilah mercusuar
tegaklah usah beranjak
berdiri kokoh menantang angin dan badai
jadilah petunjuk pada pelayar malam
Oh...jiwa, peluklah malam redakan jeritan
biarlah irama menari sesuka-sukanya meski hujan jelang menjelang
walau basah bumi merebah merunduk malu
biarkan ia telanjang dalam kesunyian
irama bernyanyi di segenap raga
semerta tumpah dalam alunan orkestra klasik melankolis
gerak bergerak dalam kristal tipis dimana liukan-liukan tampak angkuh
irama berdansa mengundang jiwa
mari kemari tari bersama
di sisi lain...
ada jeritan tersamar di jiwa terselubung selimut
jeritan meracau-racau pada isi kepala
membatu dengan keras sekeras-kerasnya
jeritan menjahit udara dengan udara,
menyulam angin dengan angin
ini jeritan menulikan jiwa seperti manusia menulikan angin
di persimpangan...
irama dan jeritan berhadap-hadapan
mereka beradu berpandang-pandangan,
selang seling saling bersilangan
debat mendebat
bantah membantah
hardik menghardik
irama mewarna jiwa, jeritan lantas pecah karsa
ketika itu...
pepohonan masih tampak jauh
kuseret kaki menuju rindangnya
sampai, kubersandar pada batang kokoh namun tua
duduk menatap kawanan murai dan individualisme elang melalu-lalang
Oh...jiwa, jadilah mercusuar
tegaklah usah beranjak
berdiri kokoh menantang angin dan badai
jadilah petunjuk pada pelayar malam
Oh...jiwa, peluklah malam redakan jeritan
biarlah irama menari sesuka-sukanya meski hujan jelang menjelang
walau basah bumi merebah merunduk malu
biarkan ia telanjang dalam kesunyian
Kenapa Aku Menulis
peracauan ini urung juga ketika malu teriak kuat bicara
maka segala terbingkai kata
sirat rasa surat eja ganti bicara
seakan enggan teriak lantang aku jalang
nanti dunia belam aku
nanti kekasih kecam aku
nanti bunga melayar berpadu
mati aku nanti
hentak-hentak hendak beranjak
pada kata tabir rasa tabur jiwa
suaraku hilang!
tercecer celah-celah mereka cecar aku
seketika hening aku menyepi
seketika denting beronak dihati
seketika miring otak segala racau penuh seluruh
mati aku seketika mati
ledak-ledak suaraku serak
pada kata tabir jiwa tabur rasa
aku sisa aksara tanpa perlu peluru hadap
aku rangkum dalam corak gejolak aneh
kutelanjangi makna bila aku mau kau tahu
kuselimuti segera bila telanjang bikin aku malu
sebab aku angkuh
sebab aku mau
sebab aku ragu
mati aku sebab itu
sudah, sampai di sini saja aku meracau
kini terpulang pada kau...
untuk sementara ini, aku mati dulu
maka segala terbingkai kata
sirat rasa surat eja ganti bicara
seakan enggan teriak lantang aku jalang
nanti dunia belam aku
nanti kekasih kecam aku
nanti bunga melayar berpadu
mati aku nanti
hentak-hentak hendak beranjak
pada kata tabir rasa tabur jiwa
suaraku hilang!
tercecer celah-celah mereka cecar aku
seketika hening aku menyepi
seketika denting beronak dihati
seketika miring otak segala racau penuh seluruh
mati aku seketika mati
ledak-ledak suaraku serak
pada kata tabir jiwa tabur rasa
aku sisa aksara tanpa perlu peluru hadap
aku rangkum dalam corak gejolak aneh
kutelanjangi makna bila aku mau kau tahu
kuselimuti segera bila telanjang bikin aku malu
sebab aku angkuh
sebab aku mau
sebab aku ragu
mati aku sebab itu
sudah, sampai di sini saja aku meracau
kini terpulang pada kau...
untuk sementara ini, aku mati dulu
Aku yang Membunuhmu
maafkan aku telah membunuhmu
ini bukan aku punya mau tapi danau telah kering
ketika mulai kau tampar aku dengan kelaminmu
bahkan burung-burung hantu petapa gua tepi danau
berhambur ke darat dimana kau bersangkar
maafkan aku telah membunuhmu
seandai kau tahu pisau tumpul kuguna untukmu
telah kucoba dulu padaku,
mungkin kau terima aku bilang maaf
dan nanti ketika kau jumpa percik darah melekat pada mata pisau
jangan dihapus
jangan disentuh
biarkan saja
sebab itu darah
darah pada ceruk jantungku
dan pernah aku berbisik lantang di jidatmu
tentang indah danau dan sejuk sajak sepoi sejak itu
ketika nyaris mati aku tenggelam
hanyut pada samudera di kedua matamu
terlelap dalam teduh tatap itu
dan berkata di depan ular sebagai saksi
tentang perempuan terindah di dunia
aku berdusta!
sebab kini aku takut kau takut aku takut
menjadi corak desah pada setiap malam bulan purnama
maka aku membunuhmu
maafkan aku telah membunuhmu
dan menguburkanmu di pemakaman sejarah
dengan batu nisan tertulis darah
agar aku bisa hidup kembali
dan lagi tidak membunuh lainnya.
ini bukan aku punya mau tapi danau telah kering
ketika mulai kau tampar aku dengan kelaminmu
bahkan burung-burung hantu petapa gua tepi danau
berhambur ke darat dimana kau bersangkar
maafkan aku telah membunuhmu
seandai kau tahu pisau tumpul kuguna untukmu
telah kucoba dulu padaku,
mungkin kau terima aku bilang maaf
dan nanti ketika kau jumpa percik darah melekat pada mata pisau
jangan dihapus
jangan disentuh
biarkan saja
sebab itu darah
darah pada ceruk jantungku
dan pernah aku berbisik lantang di jidatmu
tentang indah danau dan sejuk sajak sepoi sejak itu
ketika nyaris mati aku tenggelam
hanyut pada samudera di kedua matamu
terlelap dalam teduh tatap itu
dan berkata di depan ular sebagai saksi
tentang perempuan terindah di dunia
aku berdusta!
sebab kini aku takut kau takut aku takut
menjadi corak desah pada setiap malam bulan purnama
maka aku membunuhmu
maafkan aku telah membunuhmu
dan menguburkanmu di pemakaman sejarah
dengan batu nisan tertulis darah
agar aku bisa hidup kembali
dan lagi tidak membunuh lainnya.
Beluntas Akal
Bicaralah malam,
pada beluntas akal yang tertidur
sebab tak lagi mendengar
derit jerit terlempar
di ruang masa tanpa alur
pada beluntas akal yang tertidur
sebab tak lagi mendengar
derit jerit terlempar
di ruang masa tanpa alur
Vide
ada satu cerita
cerita kosong
ada puluhan bab
bab kosong
ada sub-sub bagian
bagian kosong
cerita selesai,
tampak darah pada titik penutup
cerita kosong
ada puluhan bab
bab kosong
ada sub-sub bagian
bagian kosong
cerita selesai,
tampak darah pada titik penutup
Parodi
wanita muda
tertawa jenaka
bicara cinta
berikan kembang ini pada dunia;
dunia datang
wanita muda cepat terbang
kini...
wanita muda, mati muda...
tertawa jenaka
bicara cinta
berikan kembang ini pada dunia;
dunia datang
wanita muda cepat terbang
kini...
wanita muda, mati muda...
Matahariku Menjadi Malam
ketika matahari garang aku berang
aku girang ketika matahariku datang
ketika malam datang aku girang
aku girang sebab matahariku datang
tapi kini aku berang ketika malam datang
sebab matahariku menjadi malam
dan aku buta...
aku girang ketika matahariku datang
ketika malam datang aku girang
aku girang sebab matahariku datang
tapi kini aku berang ketika malam datang
sebab matahariku menjadi malam
dan aku buta...
Langganan:
Postingan (Atom)